Surat untuk Guru di Indonesia
Yth.
di -
Seluruh Indonesia
Suatu kehormatan bagi Saya, bisa menuliskan surat ini
kepada Bapak/Ibu yang mempercayai institusi pendidikan sebagai tempat anak Bapak/Ibu
menimba ilmu. Semoga Bapak/Ibu tetap berada pada perlindungan-Nya dan tetap
memberikan dukungan kepada anak Bapak/Ibu dalam proses belajarnya.
Bapak/Ibu
yang sangat Saya hormati, perkenalkan nama Saya Lawrence Sa Benning, salah satu
generasi muda yang masih berjuang menempa diri untuk masa depan. Sebagai
seorang pembelajar, sudah 12 tahun Saya hidup di dunia pendidikan. Pak, Saya
paham betul maksud dan tujuan Bapak dalam menyekolahkan anak. Ibu, Saya sangat
menyadari betapa pentingnya pendidikan sebagai sarana dalam mengetahui dunia yang
lingkupnya sudah tak terbatas ini. Namun, hal yang belum disadari bersama
adalah pentingnya agen yang berperan sebagai edukator dan fasilitator untuk
mentransfer ilmu agar dapat dipahami oleh anak Bapak dan Ibu. Jujur saja, Saya sangat sedih melihat berita
di televisi yang dibanjiri banyak kasus yang menjerat guru-guru di Indonesia,
hingga mengharuskan mereka ke meja hijau untuk di mediasi. Jujur saja Pak/Bu,
bukan maksud Saya untuk memihak mereka, Saya hanya mencoba untuk menulis isi pikiran, sesuai perspektif dan
pengalaman saya sebagai seorang pelajar.
Bapak/Ibu yang Saya segani, Saya ingin bercerita tentang
pengalaman Saya saat menimba ilmu di sekolah dasar. Saya mempunyai seorang
teman, sebut saja namanya Arya. Arya adalah anak kesayangan orangtuanya. Namun,
pendidikan moral yang keluarganya berikan sebagai agen primer tidak terlalu
terserap betul bagi Arya. Di sekolah, Arya selalu membuat onar, membuli, bahkan
diumuran belia Arya sudah mengetahui hal mengenai seksualitas. Sering juga Arya
melakukan kekerasan verbal kepada teman-teman dan juga pada guru. Melihat hal
tersebut, tentu saja guru kami melakukan kewajiban dengan melakukan pendisiplinan.
Mereka memanggil Arya ke ruangan, dan menyarankan Arya untuk meminta maaf kepada teman-teman. Namun,
Arya tidak ingin melakukanya, dan beberapa hari kemudian Ayah Arya datang
dengan membawa sabit serta memberontak. Ditebasnya pintu ruang guru olehnya
hingga terbelah dua, dan membela Arya yang menurutnya benar. Jujur saja, pada
saat itu kami sebagai anak SD bisa menilai bahwa Arya memang salah. Namun,
orangtuanya tetap kukuh dan menyatakan Arya itu benar. Beranjak pada realita
tersebut, hal itu telah membuktikan
bahwa tidak semua anak bisa dipercaya, dan itu merupakan tanggung jawab orangtua
dalam pendidikan informal dirumah.
Bapak/Ibu, Saya sering mendengar cerita dari Ibu Saya,
zaman pendidikan sekarang sungguh berbeda jika dibandingkan dengan zaman dahulu.
Saya harap, Bapak dan Ibu juga menyadari perbedaan yang terjadi. Zaman dahulu,
orangtua percaya sepenuhnya terhadap guru yang akan mampu merubah anaknya untuk
menjadi insan terdidik. Goresan kapur di pipi, tamparan penggaris kayu di kuku
dan berdiri di bawah tiang bendera merupakan contoh aksi pendisiplinan
pendidikan. Namun, kualitas siswa zaman dahulu tidak kalah dengan siswa zaman
sekarang walaupun dengan keterbatasan teknologi. Terbukti dengan kemahiran
siswa zaman dahulu dalam berhitung cepat walau hanya bermodal kayu yang
digoreskan ke tanah sebagai alat tulis. Marilah kita lihat sekarang, realita
yang terjadi sungguh memilukan hati. Guru dituding dan dihujat oleh beberapa orangtua
siswa yang merasa memiliki jabatan yang lebih “tinggi”, dengan alasan anak
mereka dimarahi. Bapak/ Ibu, Saya sangat mengerti akan kasih tulus cinta orangtua
terhadap anaknya. Namun untuk kasus seperti itu, Saya mohon berpikirlah secara
menyeluruh, janganlah membawa kebiasaan berpikir pendek di zaman yang cepat dan
modern ini. Klarifikasilah akar dari permasalahan, karena psikologis seorang
anak mudah terpengaruh dan emosi mereka yang tak terarah. Sadarlah Pak, Bapak
sudah menitipkan anak Bapak ke sekolah, itu berarti tugas dan tanggung jawab
terhadap anak, sudah dipindahkan pada guru yang akan meberikan pendidikan
formal dan juga ajaran moral kepada anak Bapak. Ibu, janganlah terlalu khawatir
dengan anak Ibu yang sudah dalam perlindungan gurunya, karena kekhawatiran tersebut
akan berpengaruh pada mental anak Ibu yang akan menjadi generasi manja dan
pengeluh. Saya yakin, Indonesia tidak butuh generasi yang lemah untuk bersaing
di dunia global.
Bapak/Ibu,
gaji guru tidaklah sebesar gaji pejabat negara yang duduk di kursi parlemen. Di
zaman ini, generasi muda hanya sedikit yang ingin menjadi guru dengan alasan penghasilan
finansial. Faktanya, guru memiliki peranan sangat penting dalam pembangunan
nasional untuk menghasilkan para cendikiawan yang merupakan agen pembangunan. Janganlah
memperburuk citra pendidikan Indonesia dengan hal-hal yang sensasional. Malu dengan
negara tetangga yang sedang gencar membangun negerinya. Sementara kita, hanya
sibuk dengan urusan tak logis dalam negeri. Saya akui, guru terkadang keluar
dari batas kesabaran dalam menghadapi siswanya. Tentu saja, guru juga manusia
yang mempunyai batas kesabaran. Saya yakin Bapak dan Ibu juga akan melakukan
hal yang sama jika dihadapkan dengan puluhan siswa yang mempunyai karakter yang
berbeda.
Bapak/Ibu,
jadilah orangtua yang cerdas, berikanlah contoh yang baik kepada kami sebagai
generasi penerus. Apresiasilah kinerja
guru yang sudah memberikan jasanya kepada anak Bapak dan Ibu. Apresiasi yang Saya
maksud bukanlah sebuah cenderamata megah pada tanggal 25 november. Melainkan sebuah
dukungan moral, untuk membina anak Bapak dan Ibu. Semoga melalui secarik surat
ini bisa lebih menyadarkan Bapak/Ibu dalam melakukan suatu tindakan. Tanpa
mengurangi rasa hormat kepada Bapak dan Ibu, Saya mengucapkan terimakasih.
Jakarta, 5 Oktober 2016
Hormat Saya
Lawrence Sa Benning
Komentar
Posting Komentar